Selasa, 08 Januari 2013

Teori Fungsionalisme Struktural menurut Talcott Parsons Dan Teori Aksi Max Weber


Teori Fungsionalisme Struktural menurut Talcott Parsons
Teori Fungsionalisme Parsons ini dimulai dengan empat fungsi penting untuk semua system “tindakan”, yang terkenal dengan skema AGIL.AGIL. Suatu fungsi (function) adalah kumpulan kegiatan yang ditujukan kearah pemenuhan kebutuhan tertentu atau kebutuhan system. Dengan menggunakan definisi ini, Parsons yakin bahwa ada empat fungsi penting diperlukan semua system – adaptation (A), goal attainment (G), integration (I), dan latensi (L) atau pemeliharaan pola. Secara bersama-sama, keempat imperative fungsional ini dikenal sebagai skema AGIL. Agar tetap bertahan (survibe), suatu system harus memiliki empat fungsi ini:
1)      Adaptation (adaptasi): sebuah system harus menanggulangi situasi eksternal yang gawat. System harus menyesuaikan diri dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan itu dengan kebutuhannya
2)      Goal attainment (Pencapaian tujuan): sebuah system harus mendefinisikan dan mencapai tujuan utamanya.
3)      Integration (Integrasi): sebuah system harus mengatur antarhubungan bagian-bagian yang menjadi komponennya.
4)      Latency (latensi atau pemeliharaan Pola): sebuah system harus memperlengkapi memelihara dan memperbaiki, baik motivasi individual maupun pola-pola kulturalo yang menciptakan dan menopang motivasi.


Teori aksi:
Teori Aksi atau Action Theory yang juga dikenal sebagai teori bertindak ini pada mulanya dikembangkan oleh Max Weber seorang ahli sosiologi dan ekonomi yang ternama. Max Weber berpendapat bahwa individu melakukan suatu tindakan berdasarkan atas pengalaman, persepsi, pemahaman dan penafsirannya atas suatu obyek stimulus atau situasi tertentu. Tindakan individu ini merupakan tindakan sosial yang rasional, yaitu mencapai tujuan atau sasaran dengan sarana-sarana yang paling tepat. Teori Weber dikembangkan lebih lanjut oleh Talcott Parsons, yang mulai dengan mengkritik Weber, meyatakan bahwa aksi atau action itu bukanlah perilaku atau behavior. Aksi merupakan tanggapan atau respons mekanis terhadap suatu stimulus sedangkan perilaku adalah suatu proses mental yang aktif dan kreatif. Menurut Parsons, yang utama bukanlah tindakan individual, melainkan norma-norma dan nilai-nilai sosial yang menuntun dan pengatur perilaku. Kondisi obyektif disatukan dengan komitmen kolektif terhadap suatu nilai akan mengembangkan suatu bentuk tindakan sosial tertentu. Parsons melihat bahwa tindakan individu atau kelompok dipengaruhi oleh 3 sistem, yaitu sistem sosial, sistem budaya dan sistem kepribadian masing-masing individu. Kita dapat mengaitkan individu dengan sistem sosialnya melalui status dan perannya.  Dalam setiap sistem sosial individu menduduki suatu tempat atau status tertentu dan bertindak atau berperan sesuai dengan norma atau aturan yang dibuat oleh sistem tersebut dan perilaku individu ditentukan pula oleh tipe kepribadiannya.


TEORI KONFLIK

Kadang-kadang di dalam suatu masyarakat, dapat dijumpai hal-hal yang dianggap baik; akan tetapi hal tersebut tidak banyak terdapat, sehingga ada golongan-golongan tertentu yang merasa dirugikan (di samping mereka yang merasa beruntung). Misal : kekayaan material, kekuasaan, kedudukan dan sebagainya. Manusia cenderung untuk berusaha segiat mungkin, agar mendapatkan hal-hal yang dianggap baik tadi. Kalau ada lebih dari satu pihak menganggap sama-sama mempunyai hak atas hal-hal yang dianggap baik tadi, maka kemungkinan besar akan terjadi suatu pertikaian atau konflik. Konflik mencakup suatu proses, dimana terjadi pertemtangan hak atas kekayaan, kekuasaan, kedudukan dan seterusnya, dimana salah satu pihak berusaha untuk menghancurkan pihak lain.
Salah satu Teori Konflik yang terkenal adalah yang dikembangkan oleh Karl Marx dan Friedrich Engles dalam Communist Manifesto (1848). Mereka mengganggap bahwa proses terpenting dalam masyarakat adalah terjadinya pertentangan klas (class struggle). Menurut mereka suatu golongan yang memerintah memiliki kedudukan tersebut, oleh karena menguasai sarana produksi yang penting bagi kelangsungan hidup masyaraka.

Tahapan Konflik
Menurut Robbin dan Judge (2011, p. 457-465) ada lima tahapan dalam konflik; pertama potensi oposisi atau ketidakcocokan, kedua pengamatan dan personalisasi, ketiga keinginan atau niat, keempat tingkah laku dan kelima adalah hasil. Secara garis besar tahapan konflik menurut Robbin dan Judge ini dapat dijelaskan secara singkat bahwa pertama konflik muncul karena terjadi perbedaan pandangan. Perbedaan pandangan ini harus menjadi sebuah perbedaan pribadi. Sebagai contoh A dan B berdebat mengenai sesuatu hal, namun perdebatan A dan B ini jika belum sampai pada tahap keterlibatan secara emosional maka belum menjadi sebuah konflik. Dari pelibatan emosional tersebut kemudian konflik memasuk tahap keinginan atau niat. Pada tahap ini pihak yang berselisih akan masuk dalam tahap keinginan berkompetisi untuk memenangkan konflik guna mendapatkan kepuasaan pribadinya ataupun keinginan kelompok. Dalam proses ini  juga bisa terjadi sebaliknya yaitu berusaha mencegah lebih dalam terlibat konflik dengan mengacuhkan konflik tersebut. Pada tahap ketiga pula ada kemungkinan pula bahwa pihak yang berselisih berusaha mengalah untuk tidak terlibat dalam konflik dengan mendukung pendapat pihak yang berlawanan dengannya atau ada kemungkinan pula melakukan tahap kompromi sehingga tidak ada pihak yang dirugikan atau dikalahkan. Tahap keempat yang merupakan tingkah laku berarti dalam tahap ini mulai dilakukan suatu perbuatan untuk melawan baik berupa pernyataan ataupun perbuatan. Demonstrasi, perang atau kekacauan terjadi pada tahap keempat ini. Pada tahap kelima konflik adalah hasil dari konflik itu sendiri. Ada dua kemungkinan hasil dari sebuah konflik, menaikkan kualitas kerja kelompok atau menurunkan kualitas kerja kelompok.
Dampak Konflik
Ada banyak dampak negatif dari adanya konflik. Perselisihan dapat menimbulkan kecemasan, kemarahan dan kesulitan yang meliputi rusaknya sebuah hubungan, terputusnya sebuah komunikasi dan keharmonisan kelompok, bahkan konflik yang berkepanjangan ditempat kerja dapat merusak mental dan fisik seorang karyawan (Tillet & French 2006, p.15-16). Lebih jauh lagi Ford dan Barnes-Slater (2006, p.1) menyebutkan bahwa konflik berkepanjangan akan menimbulkan hidden and direct cost kepada organisasi. Energi dan waktu organisasi menjadi tersedot untuk menyelesaikan konflik. Organisasi juga harus membayar mahal dengan banyaknya karyawan yang absen, turnover dan hilangnya waktu kerja. Sebagai contoh di Australia, tidak kurang 101,700 waktu kerja hilang karena terjadinya konflik di tempat kerja mulai Januari sampai dengan pertengahan Juni 2012 (Australian Bureau Statistic [ABS] 2012). Selain itu, masih menurut Ford dan Barnes-Slater, ada kemungkinan besar pula organisasi harus mengeluarkan biaya legal fee dalam menyelesaikan konflik yang timbul. Konflik yang berkepanjangan juga akan mengakibatkan terjadinya sabatose dari individual terhadap organisasi.

TEORI SOSIOLOGI

masalah interaksi sosial boleh dikatakan, merupakan hal yang seolah-olah tanpa batas, karena menyangkut seluruh kehidupan sosial manusia. Ruang lingkupnya sedemikian luasnya, sehingga tidak jarang sulit untuk memikirkannya, mempelajarinya maupun menganalisanya.
Suatu teori akan berguna sekali untuk mempermudah pengkajian suatu masalah dengan ruang lingkup yang sedemikian luasnya itu. Teori tertentu sebenarnya merupakan hasil pengkajian ilmiah untuk menyatukan fakta tertentu sedemikian rupa sehingga, lebih mudah untuk mempelajari keseluruhannya. Menyusun suatu teori lazimnya bertujuan untuk :
  1. Mengklasifikasikan dan mengorganisasikan gejala-gejala sedemikian rupa, sehingga dapat ditempatkan pada suatu perspektif tertentu ;
  2. Menjelaskan sebab-sebab terjadinya gejala-grjala tertentu pada masa lampau, untuk mengadakan prediksi bilamana, dimana dan bagaimana gejala-gejala tertentu akan terjadi pada masa mendatang.
  3. Memahami mengapa dan bagaimana seharusnya gejala-gejala tertentu terjadi atau berlangsung
Di bawah ini akan dijelaskan secara singkat beberapa orientasi teori-teori sosiologis, yang memberikan perspektif berbeda terhadap perilaku nyata dari manusia. Ada kemungkinan suatu teori tertentu sangat sulit untuk dipahami sehingga perlu dicari teori lain sebagai alternatifnya. Kadang-kadang terjadi konflik antara satu teori dengan teori lainnya, padahal gejala yang dipelajarinya adalah sama. Oleh karena itu ada baiknya dikemukakan beberapa perspektif yang merupakan pokok-pokok dari teori-teori tertentu yang dianggap memiliki orientasi yang sama. Dengan mengetengahkan perspektif tersebut diharapkan dapat disajikan latar belakang dari teori-teori sosiologis mengenai manusia, masyarakat dan kebudayaan, pada pembahasan-pembahasan selanjutnya.

TEORI AKSI OLEH PARSON DAN TEORI TINDAKAN OLEH MAX WEBER



 Teori paradigma definisi sosial, eksemplar paradigma definisi sosial ini salah satu aspeknya yang sangat khusus adalah dari karya Max Weber yakni, mengartikan sosiologi sebagai studi tentang tindakan sosial dan antar hubungan sosial. Inti tesisnya adalah ”tindakan yang penuh arti” dari individu. Tindakan sosial yang dimaksud Weber dapat berupa tindakan yang nyata-nyata diarahkan kepada orang lain. Juga dapat berupa tindakan ”membatin” atau bersifat subyektif yang mungkin terjadi karena pengaruh positif dari situasi tertentu, atau merupakan tindakan perulangan dengan sengaja sebagai akibat dari pengaruh situasi yang serupa, atau berupa persetujuan secara pasif dalam situasi tertentu.
tindakan sosial dan antar hubungan sosial itu Weber mengemukakan lima ciri pokok yang menjadi sasaran penelitian sosiologi yaitu :
a.    Tindakan manusia, yang menurut aktor mengandung makna yang subyektif. Ini meliputi tindakan nyata.
b.    Tindakan nyata dan yang bersifat membatin sepenuhnya dan bersifat   subyektif.
c.    Tindakan yang meliputi pengaruh positif dari suatu situasi, tindakan yang sengaja diulang serta tindakan dalam bentuk persetujuan secara diam-diam.
d.   Tindakan itu diarahkan kepada seseorang atau kepada beberapa individu.
e.    Tindakan itu memperhatikan tindakan orang lain dan terarah kepada orang lain itu (Ritzer, 2002 : 38-39).
Atas dasar rasionalitas tindakan sosial, Max Weber membedakan dalam empat tipe. Dimana semakin rasional tindakan sosial itu semakin mudah dipahami. Tipe tindakan tersebut adalah:
a.       Zwerk rational
Yaitu tindakan sosial murni. Dalam tindakan ini aktor tidak hanya sekedar menilai cara yang baik untuk mencapai tujuanya tapi juga menentukan nilai dari tujuan itu sendiri. Tujuan dalam Zwerk Rational tidak absolute. Ia dapat juga menjadi cara dari tujuan lain berikutnya. Bila aktor berkelakuan dengan cara yang paling rasional maka mudah memahami tindakan itu.
b.      Wrektrational action
Dalam tindakan tipe ini aktor tidak dapat menilai apakah cara-cara yang dipilihnya itu merupakan yang paling tepat ataukah lebih cepat untuk mencapai tujuan yang lain. Ini menunjuk kepada tujuan itu sendiri. Dalam tindakan ini memang antara tujuan dan cara-cara mencapainya cenderung menjadi sukar untuk dibedakan. Namun tindakan ini rasional, karena pilihan terhadap cara-cara kiranya sudah menentukan tujuan yang diinginkan. Tindakan kedua ini masih rasional meski tidak serasional yang pertama. Karena itu dapat dipertanggungjawabkan untuk dipahami.
c.       Affectual action
Tindakan yang dibuat-buat. Dipengaruhi oleh perasaan emosi dan kepura-puraan si aktor. Tindakan ini sukar dipahami. Kurang atau tidak rasional.
d.      Traditional action
Tindakan yang didasarkan atas kebiasaan-kebiasaan dalam mengerjakan sesuatu dimasa lalu saja (Ritzer, 2002:40-41).

Dalam teori aksi yang diterangkan oleh konsepsi Parson tentang kesukarelaan (Voluntarisme). Beberapa asumsi fundamental teori aksi dikemukakan oleh Hinkle adalah sebagai berikut,
1.    Tindakan manusia muncul dari kesadarannya sendiri sebagai subyek dan dari situasi eksternal dalam posisinya sebagai obyek.
2.    Sebagai subyek manusia bertindak atau berperilaku untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Jadi tindakan manusia bukan tanpa tujuan.
3.    Dalam bertindak manusia menggunankan cara, teknik, prosedur, metode serta perangkat yang diperkirakan cocok untuk mencapai tujuan tersebut.
4.    Kelangsungan tindakan manusia hanya dibatasi oleh kondisi yang tak dapat diubah dengan sendirinya.
5.    Manusia memilih, menilai dan mengevaluasi terhadap tindakan yang akan, sedang dan yang telah dilakukannya.
6.    Ukuran-ukuran, aturan-aturan atau prinsip-prinsip moral diharapkan timbul pada saat pengambilan keputusan (Ritzer, 2002: 46).