Selasa, 08 Januari 2013

TEORI KONFLIK

Kadang-kadang di dalam suatu masyarakat, dapat dijumpai hal-hal yang dianggap baik; akan tetapi hal tersebut tidak banyak terdapat, sehingga ada golongan-golongan tertentu yang merasa dirugikan (di samping mereka yang merasa beruntung). Misal : kekayaan material, kekuasaan, kedudukan dan sebagainya. Manusia cenderung untuk berusaha segiat mungkin, agar mendapatkan hal-hal yang dianggap baik tadi. Kalau ada lebih dari satu pihak menganggap sama-sama mempunyai hak atas hal-hal yang dianggap baik tadi, maka kemungkinan besar akan terjadi suatu pertikaian atau konflik. Konflik mencakup suatu proses, dimana terjadi pertemtangan hak atas kekayaan, kekuasaan, kedudukan dan seterusnya, dimana salah satu pihak berusaha untuk menghancurkan pihak lain.
Salah satu Teori Konflik yang terkenal adalah yang dikembangkan oleh Karl Marx dan Friedrich Engles dalam Communist Manifesto (1848). Mereka mengganggap bahwa proses terpenting dalam masyarakat adalah terjadinya pertentangan klas (class struggle). Menurut mereka suatu golongan yang memerintah memiliki kedudukan tersebut, oleh karena menguasai sarana produksi yang penting bagi kelangsungan hidup masyaraka.

Tahapan Konflik
Menurut Robbin dan Judge (2011, p. 457-465) ada lima tahapan dalam konflik; pertama potensi oposisi atau ketidakcocokan, kedua pengamatan dan personalisasi, ketiga keinginan atau niat, keempat tingkah laku dan kelima adalah hasil. Secara garis besar tahapan konflik menurut Robbin dan Judge ini dapat dijelaskan secara singkat bahwa pertama konflik muncul karena terjadi perbedaan pandangan. Perbedaan pandangan ini harus menjadi sebuah perbedaan pribadi. Sebagai contoh A dan B berdebat mengenai sesuatu hal, namun perdebatan A dan B ini jika belum sampai pada tahap keterlibatan secara emosional maka belum menjadi sebuah konflik. Dari pelibatan emosional tersebut kemudian konflik memasuk tahap keinginan atau niat. Pada tahap ini pihak yang berselisih akan masuk dalam tahap keinginan berkompetisi untuk memenangkan konflik guna mendapatkan kepuasaan pribadinya ataupun keinginan kelompok. Dalam proses ini  juga bisa terjadi sebaliknya yaitu berusaha mencegah lebih dalam terlibat konflik dengan mengacuhkan konflik tersebut. Pada tahap ketiga pula ada kemungkinan pula bahwa pihak yang berselisih berusaha mengalah untuk tidak terlibat dalam konflik dengan mendukung pendapat pihak yang berlawanan dengannya atau ada kemungkinan pula melakukan tahap kompromi sehingga tidak ada pihak yang dirugikan atau dikalahkan. Tahap keempat yang merupakan tingkah laku berarti dalam tahap ini mulai dilakukan suatu perbuatan untuk melawan baik berupa pernyataan ataupun perbuatan. Demonstrasi, perang atau kekacauan terjadi pada tahap keempat ini. Pada tahap kelima konflik adalah hasil dari konflik itu sendiri. Ada dua kemungkinan hasil dari sebuah konflik, menaikkan kualitas kerja kelompok atau menurunkan kualitas kerja kelompok.
Dampak Konflik
Ada banyak dampak negatif dari adanya konflik. Perselisihan dapat menimbulkan kecemasan, kemarahan dan kesulitan yang meliputi rusaknya sebuah hubungan, terputusnya sebuah komunikasi dan keharmonisan kelompok, bahkan konflik yang berkepanjangan ditempat kerja dapat merusak mental dan fisik seorang karyawan (Tillet & French 2006, p.15-16). Lebih jauh lagi Ford dan Barnes-Slater (2006, p.1) menyebutkan bahwa konflik berkepanjangan akan menimbulkan hidden and direct cost kepada organisasi. Energi dan waktu organisasi menjadi tersedot untuk menyelesaikan konflik. Organisasi juga harus membayar mahal dengan banyaknya karyawan yang absen, turnover dan hilangnya waktu kerja. Sebagai contoh di Australia, tidak kurang 101,700 waktu kerja hilang karena terjadinya konflik di tempat kerja mulai Januari sampai dengan pertengahan Juni 2012 (Australian Bureau Statistic [ABS] 2012). Selain itu, masih menurut Ford dan Barnes-Slater, ada kemungkinan besar pula organisasi harus mengeluarkan biaya legal fee dalam menyelesaikan konflik yang timbul. Konflik yang berkepanjangan juga akan mengakibatkan terjadinya sabatose dari individual terhadap organisasi.


Konflik dan Hubungan Industrial
Dalam sudut pandang Hubungan Industrial, konflik dapat dilihat melalui pendekatan Pluralism, Unitarist dan pendekatan radikal atau Marxism. Menurut Bray et al (2009, p.48-66) dan Jackson (1982, p.168-187) secara garis besar ketiga teori dalam memandang konflik tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
  1. Pendekatan Pluralist: konflik adalah hal yang sah dan tidak terhindarkan ditempat kerja. Konflik muncul sebagai akibat dari adanya keberagaman ditempat kerja; perbedaan kepentingan, tujuan dan aspirasi. Manajemen tidak dapat mengharapkan karyawan selalu bersamaan pendapat dengan perusahaan. Namun demikian, manajemen dapat berusaha mencegah timbulnya konflik agar tidak semakin meluas dan mendamaikannya demi kepentingan perusahaan. Sementara organisasi pekerja adalah perwakilan sah dari pekerja untuk menyampaikan aspirasinya dan memiliki kebebasan untuk mengutarakan pendapatnya secara bertanggungjawab guna mencari jalan penyelesaian perselisihan apabila timbul. Peran pemerintah disini menurut pendekatan Pluralist adalah melindungi yang lemah dari yang kuat.
  2. Pendekatan Unitarist: tempat kerja adalah suatu bagian kesatuan yang satu dan keharmonisan harus dijaga demi kepentingan bersama. Manajemen harus melakukan komunikasi yang baik dengan karyawannya. Karyawan sendiri sebagai bagian dari keutuhan organisasi harus menunjukkan dedikasi dan loyalitasnya kepada organisasi. Keberadaan konflik tidak diakui di tempat kerja karena semua pihak adalah satu kesatuan yang utuh. Apabila muncul perbedaan, itu disebabkan hanya karena kesalahpahaman komunikasi.
  3. Pendekatan Marxism atau Class Conflict: konflik terjadi karena ketidakseimbangan keadilan dan distribusi pendapatan dalam sistem ekonomi kapital. Peran kekuatan disini sangatlah menentukan. Perlawanan kelas selalu menjadi landasan dasar berpikir melalui pendekatan ini.
Konflik dalam sudut pandang hubungan industrial selalu melekat dengan aksi perlawanan kelas berupa demonstrasi kerja ataupun mogok kerja, istilahnya adalah strike. Bentuk strikeantara lain dapat berupa memperlambat kerja, aksi mogok dengan duduk atau menolak lembur (Green 1991, p. 87-88). Strike muncul ketika pekerja menolak untuk bekerja hingga pengusaha mengubah pendapatnya pada satu atau dua masalah (Budd 2008, p. 306). Menurut Richard N. Block dalam buku Global Industrial Relation, editor oleh Morley et al (2006, p.44-48) menyebutkan bahwa ada kecenderungan terjadi penurunan angka strike di Amerika dan Kanada sejak tahun 1980. Sebagai contoh di Amerika Serikat, sejak awal tahun 1990, strike di Amerika Serikat kurang dari 50 per tahun pada unit yang memperkerjakan karyawan 1000 orang atau lebih. Ditahun 2003, masih di Amerika Serikat, hanya terdapat 14strike di unit yang mempekerjakan karyawan 1000 orang atau lebih. Menurut analisa Block, penurunan ini dikarenakan industri di Amerika dan di Kanada diperbolehkan untuk melakukan negosiasi dalam kesepakatan perjanjian bersama.
Manajemen konflik memang sangatlah diperlukan. Di Indonesia, penyelesaian perselisihan hubungan industrial diatur dalam Undang-Undang Nomor. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Menurut ketentuan perundangan ini, yang dimaksud dengan Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Secara garis besar dalam teori hubungan industrial terdapat tiga cara menyelesaikan konflik dalam hubungan industrial yaitu melalui keterlibatan pihak ketiga yaitu mediator, arbiter dan konsiliator. Adapun peran ketiga tersebut menurut Burchill (2008, p. 101-114) dan Green (1991, p.89-91) dapat dijelaskan sebagai berikut :
  1. Konsiliator: Konsiliator tidak memiliki kekuatan memaksa para pihak yang berkonflik untuk menyelesaiakan perselisihannya. Pada umumnya konsiliator hanya membuka pintu negoisasi untuk para pihak dan menyarankan jalan terbaik atau memberikan informasi secukupnya untuk menyelesaikan konflik yang timbul.
  2. Arbiter: Dalam proses arbitrase ini, seorang arbiter memiliki kekuatan untuk menyelesaikan suatu konflik melalui keputusan yang mandiri dan para pihak berkewajiban untuk menjalankan keputusan arbiter tersebut.
  3. Mediator: Seorang mediator memiliki kekuatan untuk mengeluarkan suatu rekomendasi terhadap suatu konflik yang muncul ditempat kerja.  Proses dalam mediasi mirip dengan konsiliasi dan arbitrase. Perbedaannya dengan konsiliator, mediator membuat suatu proposal  atau rekomendasi untuk menyelesaikan masalah pada tahap yang diperlukan. Sedangkan perbedaan dengan arbiter, rekomendasi mediator tidaklah mengikat kedua belah pihak.
Proses dan cara penyelesaian konflik dalam tempat kerja hendaknya diselesaikan dengan cara yang tepat, ditangani segera mungkin, dan relatif mudah. Salah satunya, marilah selalu berdialog sebagai alternatif penyelesaian masalah (Walton 1987, p.5). Guna tetap menjaga keharmonisan hubungan industrial demi mencapai masyarakat yang damai dan adil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar