Kamis, 29 November 2012

Politik Multikulturalisme


Pemerintahan berdasar politik multikulturalisme adalah pemerintahan dimana semua identitas partikular yang muncul dan berkembang di dalam masyarakat mendapat ruang. Setiap kelompok identitas partikular haruslah memiliki wakil di parlemen maupun di kabinet. Semua kelompok dari berbagai kalangan harus mendapat tempat untuk menyalurkan aspirasinya dan ikut berpartisipasi dalam pemerintahan. Tidak ada diskriminasi terhadap kelompok tertentu, hak untuk berperan serta dalam pemerintahan atau kegiatan politik terbuka selebar-lebarnya bagi semua kelompok yang ada.



Menurut Kymlicka (dalam Haryatmoko, 2009) arah atau tujuan politik multikulturalisme  adalah :”Pengakuan keberagaman budaya yang menumbuhkan kepedulian agar berbagai kelompok yang termarjinalisasi dapat terintegrasi, dan masyarakat mengakomodasi perbedaan budaya agar kekhasan identitas mereka diakui”.
Rumusan ini mengandung 3 (tiga) unsur, yaitu identitas, partisipasi, dan keadilan. Identitas terukir dalam menerima keberagaman budaya dan agama. Kekhasan mengafirmasi dalam perbedaan. Dengan menjawab kebutuhan identitas, lahir penghargaan diri sehingga memperkuat komitmen terhadap kolektivitas.
Di Indonesia, politik multikulturalisme mulai menjadi wacana hangat yang diperbincangkan banyak orang ketika mantan presiden Gus Dur menjabat. Mantan Presiden Republik Indonesia yang kini sudah meninggal dunia, merupakan tokoh yang menghargai dan menjunjung tinggi perbedaan atau pluralisme yang ada di Indonesia. Beliau mengakui keberadaan dan eksistensi kaum Tionghoa ditengah-tengah warga pribumi, bahkan keturunan Tionghoa mendapat kesempatan untuk berperan serta dalam pemerintahan. Selain itu, Konghuchu, agama warga Tionghoa diakui sebagai agama resmi ke enam di Indonesia pada masa pemerintahan Gus Dur.
Tiga aspek penting dari sikap eksistensial Gus Dur sebagai penghayatan hidupnya akan multikulturalisme. Ketiga aspek itu kiranya dapat menjadi landasan bagi terbangunnya sebuah politik multikulturalisme di Indonesia, yaitu terbangunnya penghayatan hidup bersama akan keberagaman sebagai bagian dari hidup bersama yang perlu dihayati secara konsekuen.
Aspek pertama dari multikulturalisme yang dengan gigih dihayati oleh Gus Dur adalah pengaku anak adanya pluralitas atau perbedaan cara hidup, baik secara agama, budaya, politik, maupun jenis kelamin.Inilah yang disebut Will Kymlickasebagai the politics of recognition: sikap yang secara konsekuen mengakui adanya keragaman, keberbedaan, dankelompok lain sebagai yang memang lain dalam identitas kulturalnya.
Hal tersebut memberi ruang kepada masing-masing masyarakat yang berbeda tersebut untuk mengaktualisasikan dirinya sendiri tanpa harus takut terkena diskriminasi dari pihak lain karena haknya dijamin dan dilindungi oleh hukum.
Konsekuensi logis dari pilihan politik seperti itu adalah toleransi menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari politik pengakuan. Akibat logis yang masuk akal dari politik pengakuan adalah membiarkan orang lain berkembang dalam identitasnya yang unik. Gus Dur menghayati dan mempraktikkan toleransi yang berbeda dan sudah satu langkah lebih maju. Beliau menghayati dan mempraktekan toleransipositif-maksimal yaitu membela kelompok mana saja termasuk khususnya minoritas yang dihambat pelaksanaan identitas kulturalnya. Bahkan, lebih maksimal lagi, ia mendorong semua kelompok melaksanakan penghayatan identitas kulturalnya secara konsekuen selama tidak mengganggu ketertiban bersama, tidak mengganggu dan menghambat kelompok lain. Beliau mendorong orang Kristen menjadi orang Kristen sebagaimana seharusnya seorang Kristen yang baik. Beliau pun mendorong orang Papua menjadi orang Papua dalam identitas budayanya yang unik dan seterusnya.
Aspek ketiga dari multikulturalisme Gus Dur adalah semakin ia mengakui kelompok lain dalam perbedaannya dan mendorong kelompok lain menjadi dirinya sendiri, semakin Gus Dur menjadi dirinya sendiri dalam identitas kultural dan jati dirinya. Semakin Gus Dur mendorong umat dari agama lain menghayati agamanya secara murni dan konsekuen, beliau justru semakin menjadi seorang muslim yang baik dan taat. Sikap menghargai terhadap perbedaan yang ada di negara Indonesia ini yang dicontohkan oleh Gus Dur, merupakan cermin bagi kita semua bahwa perbedaan baik dalam segala hal pun bukan merupakan hambatan namun justru sebagai alat pemersatu dan pelengkap satu sama lain. Multikulturalisme bukan sebuah ancaman terhadap tertib sosial. Multikulturalisme dengan politik pengakuan dan toleransinya yang dihayati secara konsekuensi sebagai eksistensi manusia justru akan menjamin tertib sosial dan melalui itu setiap orang dapat menjadi dirinya sendiri dalam keragaman yang unik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar