Pemerintahan
berdasar politik multikulturalisme adalah pemerintahan dimana semua identitas
partikular yang muncul dan berkembang di dalam masyarakat mendapat ruang. Setiap
kelompok identitas partikular haruslah memiliki wakil di parlemen maupun di
kabinet. Semua kelompok dari berbagai kalangan harus mendapat tempat untuk
menyalurkan aspirasinya dan ikut berpartisipasi dalam pemerintahan. Tidak ada
diskriminasi terhadap kelompok tertentu, hak untuk berperan serta dalam
pemerintahan atau kegiatan politik terbuka selebar-lebarnya bagi semua kelompok
yang ada.
Menurut
Kymlicka (dalam Haryatmoko, 2009) arah atau tujuan politik
multikulturalisme adalah :”Pengakuan
keberagaman budaya yang menumbuhkan kepedulian agar berbagai kelompok yang
termarjinalisasi dapat terintegrasi, dan masyarakat mengakomodasi perbedaan
budaya agar kekhasan identitas mereka diakui”.
Rumusan
ini mengandung 3 (tiga) unsur, yaitu identitas, partisipasi, dan keadilan.
Identitas terukir dalam menerima keberagaman budaya dan agama. Kekhasan
mengafirmasi dalam perbedaan. Dengan menjawab kebutuhan identitas, lahir
penghargaan diri sehingga memperkuat komitmen terhadap kolektivitas.
Di
Indonesia, politik multikulturalisme mulai menjadi wacana hangat yang
diperbincangkan banyak orang ketika mantan presiden Gus Dur menjabat. Mantan
Presiden Republik Indonesia yang kini sudah meninggal dunia, merupakan tokoh
yang menghargai dan menjunjung tinggi perbedaan atau pluralisme yang ada di
Indonesia. Beliau mengakui keberadaan dan eksistensi kaum Tionghoa
ditengah-tengah warga pribumi, bahkan keturunan Tionghoa mendapat kesempatan
untuk berperan serta dalam pemerintahan. Selain itu, Konghuchu, agama warga
Tionghoa diakui sebagai agama resmi ke enam di Indonesia pada masa pemerintahan
Gus Dur.
Tiga
aspek penting dari sikap eksistensial Gus Dur sebagai penghayatan hidupnya akan
multikulturalisme. Ketiga aspek itu kiranya dapat menjadi landasan bagi
terbangunnya sebuah politik multikulturalisme di Indonesia, yaitu terbangunnya
penghayatan hidup bersama akan keberagaman sebagai bagian dari hidup bersama
yang perlu dihayati secara konsekuen.
Aspek
pertama dari multikulturalisme yang dengan gigih dihayati oleh Gus Dur adalah
pengaku anak adanya pluralitas atau perbedaan cara hidup, baik secara agama,
budaya, politik, maupun jenis kelamin.Inilah yang disebut Will Kymlickasebagai
the politics of recognition: sikap yang secara konsekuen mengakui adanya
keragaman, keberbedaan, dankelompok lain sebagai yang memang lain dalam
identitas kulturalnya.
Hal
tersebut memberi ruang kepada masing-masing masyarakat yang berbeda tersebut
untuk mengaktualisasikan dirinya sendiri tanpa harus takut terkena diskriminasi
dari pihak lain karena haknya dijamin dan dilindungi oleh hukum.
Konsekuensi logis
dari pilihan politik seperti itu adalah toleransi menjadi bagian yang tidak
bisa dipisahkan dari politik pengakuan. Akibat logis yang masuk akal dari politik pengakuan adalah membiarkan
orang lain berkembang dalam identitasnya yang unik. Gus Dur menghayati dan
mempraktikkan toleransi yang berbeda dan sudah satu langkah lebih maju. Beliau
menghayati dan mempraktekan toleransipositif-maksimal yaitu membela kelompok
mana saja termasuk khususnya minoritas yang dihambat pelaksanaan identitas
kulturalnya. Bahkan, lebih maksimal lagi, ia mendorong
semua kelompok melaksanakan penghayatan identitas kulturalnya secara konsekuen
selama tidak mengganggu ketertiban bersama, tidak mengganggu dan menghambat
kelompok lain. Beliau
mendorong orang Kristen menjadi orang Kristen sebagaimana seharusnya seorang
Kristen yang baik. Beliau pun mendorong orang Papua menjadi orang Papua dalam
identitas budayanya yang unik dan seterusnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar